Jurnal International Relations “Penerapan Diplomasi Koersif Amerika Serikat Melalui Invasi Militer Di Suriah Tahun 2011-2018”

theaterir-coercive-diplomacy

Disusun Oleh :

Abdurrasyid Zam Zami              (L1A016003)

Program Studi Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Mataram

2018

ABSTRACT

 This study aims to explain the invasion of the United States against Syria in achieving its national interests. Specifically this study aims to determine the dynamics of United States attacks on Syria, the driving force behind the invasion and the influence or involvement of other countries in the case. To support the content and purpose of the research, the concept used is the concept of national interest and the concept of coersive diplomacy. The national interest concept aims to explain the national interest of the United States in Syria. While the concept of coersive diplomacy can be interpreted as a form of threat of a state against other countries to achieve its national interests, with this concept is expected to explain the invasion of the United States aginst Syria. The results of this study indicate that, the invasion of the United States against Syria is due to American national interests are threatened along with the ongoing conflict in Syria. The interest is to combat terrorism and prevent the spread of Russian influence in Syria. And with the fall of Bashar al-Assad’s leadership, the US political map in Syria changed, so the United States freely planted its economic political interests. 

Keywords: Military Invasion, National Interest, Coercive Diplomacy

 

Pendahuluan

Diplomasi Amerika Serikat dalam dunia internasional kini semakin terlihat aktif dalam berbagai corak interaksi antar bangsa, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun bidang keamanan dan militer. Salah satu wujud diplomasi yang dilakukan oleh AS yaitu penggunaan diplomasi koersif di daerah kawasan Timur Tengah. Dalam diplomasi tersebut AS menggunakan instrumen kekuasaanya untuk ikut andil dan terlibat dalam konflik yang terus terjadi di wilayah Timur Tengah.[1]

Berbagai konflik yang berkembang di Timur Tengah dengan resolusi konflik yang minim, bukan hanya berpengaruh terhadap citra kawasan ini sebagai wilayah konflik, tetapi juga mempengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan internasional. Pada awalnya konflik yang terjadi di Suriah merupakan konflik internal yang terjadi antara pemerintah Bashar Al Assad kedua, yang merupakan anak dari presiden Al Assad yang pernah memerintah sebelumnya. Konflik bermula sejak terjadinya banyak konflik di beberapa negara di Timur Tengah yang dikenal dengan istilah Arab Spring.[2]

Dalam dekade terakhir ini, AS dipimpin oleh dua presiden yang memiliki perbedaan yang relatif signifikan. Namun yang pasti antara Barrack Obama  dan Donald Trump  memiliki kepentingan yang sama, yakni mencapai segenap kepentingan nasional AS serta menjaga status kepemimpinan AS di dunia. Hal tersebut merupakan sesuatu yang  lazim jika perbedaan latar belakang menjadikan kedua presiden itu memiliki gaya kepemimpinan dan kebijakan yang berbeda, baik dalam kapasitas nasional maupun internasional. Untuk menjaga kepentingan nasionalnya sekaligus mempertahankan posisinya sebagai pemimpin dunia, pada masa kepemimpinan Barrack Obama salah satu fokus kebijakan politik luar negeri AS yaitu perang melawan terorisme (war of terorism) serta menciptakan dan mempertahankan Keseimbangan ekonomi.[3]

Dua hal fokus kebijakan tersebut mengingatkan kita pada saat awal mula keikutsertaan AS dakam masalah krisis di Suriah, yang dimulai sejak pemerintahan Barrack Obama sekitar tahun 2011. Keikutsertaan AS dalam kasus tersebut berlanjut pada era pemerintahan Donald Trump baru-baru ini, mengingat berbagai kepentingan nasional AS di wilayah tersebut. Baru-baru ini sekitar awal tahun 2018, AS melakukan suatu invasi militer ke wilayah Suriah bersama dengan sekutu-sekutunya (Perancis & Inggris). Alasan penyerangan AS tersebut sudah menjadi fokus penting sejak masa pemerintahan Presiden Barrack Obama. Alasan yang pertama diadakan penyerangan tersebut karena rezim pemerintahan Bashar Al Assad  dianggap sebagai pemimpin yang otoriter di Suriah,  Bashar Al Assad  dianggap oleh pemerintahan AS menggunakan senjata kimia (Chemical Weapons) pada warga pemberontak Suriah, momentum ini juga bisa dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk mencitrakan diri dengan menerapkan prinsip responsibility to protect (R2P), fenomena ini hampir serupa ketika AS melakukan invasi militer di Irak tahun 2003. Hal tersebut juga menjadi faktor pendorong penyerangan yang dilakukan oleh AS terhadap rezim pemerintahan Bashar Al Assad.[4]

Faktor yang kedua yaitu kepentingan ekonomi AS sebagai bahan cadangan asupan kebutuhan baik dari segi minyak mentah maupun bahan-bahan ekonomi lainya. Faktor yang ketiga yaitu mengenai alasan keamanan dan pengaruh AS di wilayah Timur tengah semakin meluas (ekspansi wilayah), mengingat bahwa pemerintahan rezim Bashar Al Assad sudah menjadi sekutu Rusia dan Cina, hal inilah yang perlu dibendung oleh AS dan melihat hal tersebut sebagai suatu ancaman ketidakstabilan kekuatan di wilayah Timur Tengah.[5]

Sehingga penggunaan Diplomasi Koersif yang dicerminkan melalui invasi militer dapat dikatakan sebagai instrumen AS dalam memenuhi kepentingan nasional yang wajib dilakukan. Selaras dengan judul dari tulisan ini yang membahas mengenai “Penerapan Diplomasi Koersif Amerika Serikat Melalui Invasi Militer Di Suriah Tahun 2011-2018” menjadi hal yang menarik dan patut kita analisis lebih detail lagi. Berdasarkan penjelasan mengenai deskripsi singkat yang ada pada bagian sebelumnya, dapat kami tarik permasalahan yang dapat diangkat dalam penulisan ini adalah “Bagaimana Penerapan Diplomasi Koersif Amerika Serikat Melalui Invasi Militer Di Suriah Tahun 2011-2018 ?

Landasan Konseptual

Berkaitan dengan pokok permasalahan yang menjadi fokus dalam tulisan ini, penulis menggunakan konsep kepentingan nasional dan coersive diplomacy. Konsep kepentingan nasional dan diplomasi koersif ini digunakan untuk dapat membantu menjelaskan masalah yang di angkat dalam penulisan ini. Penting untuk diketahui bahwa penggunaan suatu konsep dalam penulisan merupakan hal yang tidak bisa dianggap sederhana, karena kecocokan penggunaan konsep dengan masalah yang akan diangkat tidak selalu berbanding lurus dalam implementasinya, berikut beberapa konsep yang digunakan dalam menganalisis masalah dalam penulisan ini.

  1. Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional sangat penting untuk dapat menjelaskan dan memahamai perilaku suatu negara dalam tatanan internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional sebagai sebuah upaya negara untuk mengejar kekuasaan, dimana kekuasaan (power) adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan (coersif) atau kerjasama (cooperatif). Karena itu kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survive) dalam percaturan politik internasional. Eksistensi suatu negara akan tetap berlangsung sekiranya tercapai kepentingan-kepentingan negara.[6]

Kepentingan ini jelas tidak dapat dipenuhi hanya dalam satu lingkup domestik saja, namun juga harus melalui kerangka hubungan antar negara. Kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum tetapi merupakan unsur yang menjadi kebutuhan vital bagi negara. Konsep tersebut mencakup melestarikan kesatuan teritorialnya, menjaga independensi politik dan ekonomi, mencapai standar hidup yang lebih tinggi bagi populasinya. Menurut Morgenthau kepentingan nasional adalah perbendaan antar kepentingan-kepentingan politik yang saling bertentangan, kepentingan nasional bukan cita-cita yang bisa dicapai secara abstrak maupun ilmiah, tapi merupakan produk persaingan politik internal yang konstan. Pemerintah, melalui badan-badan perwakilannya, akhirnya bertanggung jawab untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan politik yang berorientasi kepada kepentingan nasional. Kepentingan nasional dapat juga dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara, dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.

Kepentingam nasional suatu negara secara khas merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara yang paling vital, seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi. Konsep kepentingan nasional dapat digunakan untuk menggambarakan, menjelaskan, mengevaluasi sumber-sumber kebijakan luar negeri suatu negara, sebagai instrumen tindakan politik, kepentingan nasional dapat digunakan sebagai cara untuk menjustifikasi, melaporkan dan mengusul kebijakan. Adapun ide kepentingan nasional mengacu pada perangkat yang ideal dari tujuan-tujuan nasional dari suatu bangsa yang harus ditemukan sebagai dasar dari pelaksanaan hubungan luar negeri negara tersebut.

Sehingga, konsep kepentingan nasional ini dapat digunakan untuk menjelaskan, menggambarkan, atau mengevaluasi sumber-sumber kebijakan luar negeri suatu negara (dasar pokok orientasi kebijakan luar negeri), serta merupakan kriteria dalam menghadapi berbagai situasi dalam forum internasional. Sedangkan sebagai instrumen tindakan politik sendiri, kepentingan nasional digunakan sebagai cara menjustifikasi, melaporkan dan mengusulkan kebijakan-kebijakan. Kepentingan nasional merupakan dasar pokok orientasi kebijakan luar negeri dan merupakan kriteria dalam upaya menentukan tindakan atau langkah yang akan dioperasionalkan dalam menghadapi berbagai situasi dalam forum nasional maupun internasional.[7]

Sebagai contohnya yaitu dalam kasus di Wilayah Suriah, AS berupaya melibatkan diri dalam proses revolusi dalam krisis Suriah lebih mengarah kepada tujuan atau kepentingan keamanan dan kesejahteraan ekonomi. Dalam konteks dukungan AS terhadap kelompok Oposisi Suriah, tentunya dapat diperkirakan bahwa AS sedang mencoba untuk mencapai tujuan politiknya yaitu menanamkan pengaruh ideologi liberalisme serta kepentingan akan sumber daya ekonomi (minyak mentah) terhadap Suriah yang selama ini bisa diibaratkan sebagai “duri dalam daging” bagi AS atas kebijakannya di Timur Tengah khususnya menyangkut Israel dan pengembangan nuklir Iran.

  1. Diplomasi Koersif

Menurut Bruce Jentleson diplomasi koersif adalah strategi diplomasi dengan menggunakan derajat kekerasan yang dibatasi. Strategi diplomasi ini memberikan tekanan dengan cara dan tingkatan tertentu yang bertujuan untuk mengajak lawan untuk menghentikan agresi, dengan memberikan kekuatan yang secukupnya untuk menunjukkan tujuan dari negara yang melakukan diplomasi koersif (selanjutnya disebut coercer state) kepada negara yang tengah melakukan agresi (selanjutnya disebut target state, juga untuk memberikan kredibilitas bahwa kekuatan yang bahkan lebih besar akan digunakan bila perlu. Diplomasi ini menggunakan imbalan dan ancaman yang mengikuti tuntutan dari coercer state. Saat target state memenuhi tuntutan coercer state, imbalan atau carrots dapat diberikan. Sebaliknya, jika tuntutan tidak dipenuhi, ancaman atau sticks akan digunakan pada target state. Agar diplomasi koersif dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, coercer state perlu memerhatikan tiga hal.[8]

Yang pertama adalah proporsionalitas, yakni coercer state harus memerhatikan kesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya adalah resiprositas, yakni coercer state perlu membuat kedua belah pihak yakin bahwa setelah tuntutan dipenuhi oleh target state maka imbalan atau hukuman akan diberikan, atau setelah imbalan diberikan coercer state maka tuntutan akan dipenuhi. Yang terakhir adalah kredibilitas koersif, yakni selain target state mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari kerjasama, ia juga mengetahui bahwa mereka akan mendapat akibat-akibat tertentu jika menolak tuntutan yang diberikan. Seiring dengan tidak kunjung terpenuhinya tujuan dari suatu proses negosiasi, langkah ofensif atau penyerangan akan dilakukan.

Diplomasi ofensif sendiri memiliki keterkaitan dengan diplomasi koersif. Diplomasi koersif dapat diartikan sebagai strategi politik dalam langkah diplomatik yang dilakukan dalam langkah mempengaruhi kehendak lawan dengan menggunakan ancaman kekerasan namun secara bersamaan juga mencegah praktik militer yang tidak diinginkan. Namun apabila diplomasi koersif tersebut tetap tidak membuahkan hasil, dilakukan lah diplomasi ofensif sebagi tindakan lanjutan. Sebagai contoh kasus, diplomasi koersif  terjadi saat AS melakukan invasi militernya di wilayah Suriah.

Dengan adanya kabar bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam menyerang kelompok oposisi membuat Presiden Barrack Obama mengambil suatu kebijakan untuk mengintervensi dan mempersenjatai kelompok oposisi. Keterlibatan AS dalam konflik Suriah tentu saja dibarengi dengan adanya kepentingan nasional AS di Suriah. Seiring dengan berlangsungnya konflik di Suriah membuat terancamnya kepentingan politik maupun ekonomi AS di Suriah. Selain itu, invasi militer yang dilakukan AS di Suriah bertujuan untuk menghalangi pengaruh Rusia di Suriah. Dapat dilihat bahwa kepentingan nasional AS berbanding lurus dengan tindakan invasi militer tersebut, jadi bisa kita katakan bahwa invasi militer di Suriah merupakan alat atau instrumen AS dalam mencapai kepentingan nasionalnya.

Prioritas Politik Luar Negeri Amerika Serikat Tahun 2011-2018

Semenjak kepemimpinan Presiden Barrack Obama, AS memiliki konsentrasi penuh terhadap Timur Tengah dalam menjalankan politik luar negerinya. Diantara kebijakan tersebut adalah, Obama mengambil kebijakan luar negeri yaitu Détente. Kebijakan tersebut digunakan untuk mengurangi tingat ketegangan ataupun eskalasi adventurisme tentara AS di Timur Tengah. Cita-cita AS yaitu menyebarkan ideologinya berupa demokrasi dan menyatakan diri sebagai the champion of democracy dan the guardian of democracy yang menjadi cikal bakal dari tindakan ikut campur AS di Suriah.  Keinginan AS dalam menguasai Tmur Tengah secara kekuasaan tunggal dan kekuatan penuh, menjadi alasan yang jelas ketika melihat bahwa Timur Tengah memiliki nilai kawasan strategis dalam politik dunia. Hal tersebut menjadi faktor Timur Tengah sebagai perebutan dari Negara-negara besar.[9]

Selain itu, Arab Spring menjadi puncak momentum AS memberikan sikap tegas terhadap Timur Tengah. Ketika Arab Spring terjadi, Suriah menjadi salah satu Negara yang terinspirasi untuk melakukan hal yang sama pada gelombang Arab Spring, maka munculah AS mengambil kesempatan mengirimkan pasukan untuk memasuki wilayah Suriah. Dikarenakan kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan Bashar Al Assad yang dinilai tidak adil dan cenderung otoriter. Maka AS memfasilitasi pihak oposisi terkait hal tersebut.[10]

Masyarakat yang tadinya menuntut adanya perubahan sistem monarki absolut menuju arah demokrasi akhirnya digunakan baik oleh AS untuk mengirimkan pasukan militer atau melakukan invasi militernya ke Negara- Negara berkecamuk seperti Suriah. Dengan mendukung pihak oposisi di Suriah, AS memiliki akses mudah di Suriah dan juga menginvasi militernya. Selain itu, AS bersama dengan beberapa Negara besar lainya, menyatakan bahwa pihak Bashar Al Assad menggunakan senjata kimia dalam menyerang masyarakatnya. Sehingga hal tersebut memudahkan AS untuk memasuki Suriah dan dekat kepada kelompok oposisi.[11]

Pusat dari kebijakan politik luar negeri AS yang menjadi titik prioritas adalah menyebarkan ideologi liberalisme-nya dengan konsep demokrasi ke seluruh dunia. Hal tersebut bertujuan unuk meredam adanya kemungkinan bermunculan paham komunis dari Uni Soviet di masa lampau. Selain itu, AS juga dapat dengan mudah memasuki dan memahami Negara lain apabila memiliki pandangan sama terkait politik. Untuk mencapai tujuan kepentingan nasional,  AS menawarkan konsep demokrasi dan melakukan invasi militer sebagai bentuk dari kekuatan yang dimiliki AS.

Kepentingan nasional dapat tercapai dengan baik apabila terkoordinasi dengan kebijakan luar negeri dan sifat dari nilai strategis atau budaya geostrategis dan geopolitik yang dimiliki oleh AS. Melalui pemahaman demokrasinya, AS menawarkan kepada dunia suatu solusi demi kesejahteraan dunia.[12] Tetapi terkait kepentingan AS di Suriah yaitu sistem liberalisme itu sendiri yang menawarkan adanya kebebasan individual dan pemerintahan yang bebas dari otoriter. Maka dari itu, AS mendukung kubu oposisi demi berlangsungnya demokrasi di Suriah. Tetapi jika dilihat dari invasi militer yang dilakukan, AS memiliki kepentingan untuk menjadi Negara super power dengan terus memelihara konflik yang ada di Timur Tengah serta Suriah. Agar sistem militernya terus kuat dan perindustrian senjata militer terus beroperasi sehingga AS tetap ditakuti oleh Negara lain. Jadi, melalui prioritas politik luar negeri AS dapat dijelaskan sebagai instrumen dalam menyebarkan konsep demokrasi dan dalam menyikapi aksi terorisme yang dibuat melalui konsep HAM yang ditawarkan.[13]

AS dalam situs resmi U.S Departement of State menjelaskan bahwa terdapat 16 isu keamanan yang menjadi fokus Politik Luar Negeri Amerika Serikat.[14] Salah satunya adalah memerangi ISIS karena dianggap mengancam kedamaian, keamanan, dan stabilitas dunia Internasional. Lebih dari pada itu, ISIS diangap mengancam kepentingan nasional AS dan juga sudah banyak merugikan AS Dalam kasus Suriah, AS memanfaatkan momentum tersebut sebagai jalan untuk memerangi ISIS secara langsung. Suriah di duga sebagai salah satu negara tempat kelompok tersebut  membangun markasnya oleh karena itu AS semakin gencar menaruh pengaruhnya di Timur Tengah untuk mempermudahnya memerangi kelompok ISIS yang di duga berasal dari negara-negara di kawasan Timur tengah.[15]

Melalui fokus politik luar negeri Amerika Serikat tentang keamanan dan stabilisasi ekonomi kita bisa mengetahui relasi yang terjadi mengapa AS melakukan invasi tersebut ke wilayah Suriah, dengan begitu tindakan AS dalam melakukan diplomasi koersif-nya bukan tanpa dasar, akan tetapi dengan adanya priotitas politik luar negeri AS tersebut kita bisa menjelaskan proses terjadinya invasi di wilayah Suriah, selain dari beberapa aspek lainya yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan politik luar negeri AS.

Dinamika Invasi AS Di Suriah Tahun 2011-2018

Konflik Suriah telah berlangsung sejak Maret 2011, konflik ini merupakan lanjutan dari gelombang Arab Spring dimana warga di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah memprotes pemerintahan mereka dan melakukan aksi demonstrasi untuk menggulingkan penguasa. Mereka menuntut adanya revolusi pemerintahan yang lebih demokratis. Gelombang Arab Spring ini dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya kemudian berlanjut ke Suriah. Pasukan oposisi di Suriah memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Assad dan keluarganya yang telah berkuasa kurang lebih selama empat dekade. Aksi demonstrasi penduduk disikapi pemerintah Suriah dengan sikap represif. Dalam kasus Libya dan Suriah pemerintahan berkuasa sama-sama melakukan serangan militer terhadap pasukan oposisi. Melihat sikap pemerintah tersebut warga Suriah kemudian mulai melakukan serangan balasan.

Pada Bulan Juli 2011, ratusan ribu orang turun ke jalan di seluruh negeri. Pendukung oposisi akhirnya mulai mengangkat senjata dengan tujuan untuk mempertahankan diri mereka dan juga untuk mengusir pasukan pemerintah dari daerah lokal mereka. Situasi kekerasan yang terus meningkat dengan serangan terus menerus dari pihak pemerintah dan munculnya pemberontak bersenjata pada akhirnya menyebabkan perang saudara pecah di Suriah. Konflik yang awalnya bermula di kota Deera dan berbagai kota kecil lainnya ini meluas sampai ke Ibukota Damaskus dan juga Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah.[16]

Pasukan oposisi berhasil merebut sebagian wilayah-wilayah di Suriah, sementara pasukan pemerintah terus menyerang pihak oposisi. Menurut data PBB selama tiga tahun konflik terjadi, lebih dari 100 ribu warga tewas serta lebih dari 2 juta orang mengungsi menuju ke negara-negara tetangga. Konflik Suriah ini kemudian berkembang tidak lagi pertempuran antara pemerintahan Presiden Bashar Al Assad dan kelompok oposisi tetapi muncul juga kelompok-kelompok sektarian yang melawan pemerintah. Dimensi konflik kian bertambah dengan munculnya kelompok jihad seperti Islamic State membuat konflik Suriah semakin bertambah kompleks.[17]

Negara-negara tetangga dan negara maju yang berkepentingan pada akhirnya juga terlibat dalam konflik Suriah. Adanya pelanggaran hak asasi manusia menjadi jalan masuk bagi AS untuk mendorong Dewan Keamanan (DK) PBB mengambil tindakan tegas. DK PBB kemudian mengajukan resolusi untuk mengatasi konflik Suriah. Namun penyelesaian masalah melalui resolusi ini juga belum membuahkan hasil. RRT bersama dengan Rusia telah memberikan hak vetto-nya sebanyak empat kali terkait intervensi kedaulatan di Suriah. Sikap aktif RRT dalam hubungan internasional ini dapat dianggap sebagai sebuah anomali. Dalam hal hubungan internasional, RRT selama ini cenderung mengambil langkah pasif.

Konflik di Suriah ini, cukup menyita perhatian Dunia. Tercermin dari banyaknya pihak yang terlibat disana, ada Iran, Rusia, AS dan Israel serta tentu saja PBB. Jika dipetakan secara umum, kekuatan di atas terbagi atas dua kekuatan utama. Rezim yang berkuasa di Suriah, pimpinan Presiden Bashar Al-Assad, didukung oleh Iran, Rusia dan RRT. Sementara kekuatan oposisi yang ingin menjatuhkan Bashar Al Assad, didukung AS, Israel dan sejumlah negara Eropa Barat (Inggris dan Perancis), serta beberapa negara Islam di Timur Tengah (Arab Saudi dan Qatar) serta negara Islam dari Persia (Turki).[18]

PBB juga terlibat atau melibatkan diri dalam upaya mendamaikan perang saudara di Suriah. Tapi sebagaimana biasa, keberpihakan PBB ke rezim yang berkuasa, justru lebih ke pihak AS atau setidaknya terkesan setengah hati. Jatuh tidaknya Presiden Bashar Al Assad, sesungguhnya tidak lagi menjadi isu utama. Sebab kalau pemerintahan Bashar Al Assad terus didesak oleh berbagai kekuatan, nasib negaranya kemungkinan besar akan sama dengan Muammar Khadafy (Libya), Saddam Hussein (Irak) dan Ben Ali (Tunisia). Tetapi yang paling mengkhawatirkan, jika perang saudara Suriah berlarut, konflik itu akan sama dengan persoalan Palestina-Israel. Setengah abad pun tidak selesai. Bahkan bukan mustahil, pecahannya akan lebih dahsyat dan dapat menganggu keseimbangan perdamaian dunia.

Penerapan Diplomasi Koersif Amerika Serikat Dalam Kasus Invasi Suriah 2011-2018

Diplomasi koersif adalah diplomasi yang di lakukan dalam bentuk hukuman, baik itu dalam bentuk fisik atau non-fisik atas pelanggaran yang di lakukan suatu negara atau kelompok. Dalam kasus konflik di Suriah, AS mengutuk penggunaan senjata kimia oleh pemerintah suriah kepada kelompok-kelompok yang menentangnya sehingga menimbulkan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Untuk memutus penggunaan senjata kimia dan sebagai aksi kecaman AS kepada pemerintah Suriah, AS beserta beberapa negara lainnya meluncurkan beberapa serangan yang di tujukan pada pabrik-pabrik pembuatan senjata kimia dan gudang-gudang penyimpananya.

Bentuk penerapan diplomasi koersif AS dalam kasus ini dapat kita lihat melalui invasi militer yang dilakukanya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari pemerintahan Suriah yang memang sangat sulit untuk diajak bernegosiasi ataupun berunding secara halus, sehingga tindakan koersif harus dilakukan. Disamping itu invasi AS ke wilayah Suriah juga dapat kita katakan  sebagai suatu bentuk pemenuhan kepentingan nasionalnya, banyak hal-hal yang menjadi prioritas Amerika Serikat di wilayah Timur Tengah termasuk Suriah. Prioritas Politik Luar Negeri AS dalam konteks keamanan dan stabilitas internasional, penyebaran pemahaman demokrasi dan peningkatan sumber daya ekonomi ikut andil sebagai salah satu faktor pendorong penerapan diplomasi koersif ini dilakukan.[19]

Selanjutnya mengenai apa yang diperoleh AS yang kita sebut sebagai  kepentingan nasional dapat kita lihat dari berbagai aspek. Aspek yang pertama berkaitan erat dengan kepentingan politis para pemimpin negara AS baik sejak tahun 2011 pada era Presiden Barrack Obama maupun kini tahun 2018 dengan Presiden Donald Trump, kepentingan politis dimaksud disini adalah AS melakukan penyebaran pengaruh yang lebih efektif salah satu cara untuk mewujudkan ekspansi wilayah adalah invasi militer tersebut, selain itu penyebaran pemahaman tentang demokrasi juga terus dilakukan AS terhadap kelompok oposisi yang menyerukan adanya kudeta terhadap rezim Bashar Al Assad yang terkenal otoriter.

Kepentingan nasional yang berikutnya dapat dilihat dari aspek keamanan dan militer, dimana dalam penerapan diplomasi koersif ini AS melihat posisi keamanannya terancam akibat penggunaan senjata kimia yang dimiliki oleh rezim Bashar Al Assad, disisi lain adanya campur tangan Rusia dan RRT yang mendukung pemerintahan  Bashar Al Assad membuat posisi militer AS yang berada di daerah Timur Tengah merasa terancam dengan adanya aliansi dan dukungan kepada pemerintahan Bashar Al Assad. Pengaruh dari Rusia dan RRT juga yang membuat posisi AS menjadi terhambat dalam mencapai kepentingannya.

Bahkan Rusia dan RRT sudah beberapa kali mengeluarkan hak veto di dalam sidang PBB sejak tahun 2011 hingga saat ini, hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi AS di Suriah. Lebih jauh lagi AS mencari alternatif lain sebagai alasan untuk menerapkan diplomasi koersifnya, seperti yang dilakukan pada tahun 2003 ketika melakukan invasi ke wilayah Irak yang secara kondisi geografis dan alur konflik sama dengan yang terjadi di Suriah saat ini, sehingga AS menerapkan prinsip responsibility to protect (R2P) sebagai alasan penyerangan. Kepentingan yang terakhir datang dari aspek ekonomi, seperti yang kita ketahui bahwa negara-negara di Timur Tengah merupakan negara yang sangat amat kaya akan sumber daya alam seperti minyak bumi.

Hal ini menjadi fokus AS dalam membantu kelompok oposisi untuk melakukan kudeta dengan invasi militernya. Pandangan yang jauh atas kekayaan alam di Suriah menjadi alasan intervensi AS di wilayah tersebut. Dengan begitu sudah nampak jelas sekali mengapa AS susah payah untuk ikut andil dalam kasus ini, terlebih lagi dalam perjalanya konflik di Suriah ini masih tetap berlangsung hingga saat ini, namun satu hal yang pasti bahwa penerapan diplomasi koersif dengan instrumen invasi militer menjadi kunci AS untuk memperluas hegemoni  khususnya dikawasan Timur Tengah dan umumnya bagi sistem dan dunia internasional kontemporer.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu diplomasi koersif yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam konflik di Suriah ini tercermin dari adanya invasi militer di wilayah tersebut. Invasi militer ini merupakan salah satu cara untuk mencapai dan mewujudkan kepentingan nasional dari Amerika Serikat. Dalam beberapa rezim sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan Presiden Barrack Obama Amerika Serikat sudah mulai serius terhadap permasalahan di Suriah ini, dengan melakukan berbagai intervensi kemanusiaan didalamnya.

Selain itu aspek-aspek yang dilaksanakan melalui diplomasi koersif tersebut sebelumnya memang merupakan cerminan dari prioritas Politik Luar negeri Amerika Serikat baik dalam hal keamananan dan pertahanan militer, stabilisasi ekonomi dan menjunjung tinggi HAM. Pada masa Donald Trump atau saat ini pergolakan di wilayah Suriah masih terus terjadi, banyaknya negara-negara yang ikut andil dalam konflik tersebut mengakibatkan situasi politik internasional semakin tegang. Sebagai contoh yaitu dimana Amerika Serikat sendiri lebih condong untuk mendukung para kelompok oposisi daripada mendukung rezim pemerintahan Suriah, disisi lain Rusia dan RRT lebih memilih arah yang berbeda dengan Amerika Serikat, dimana mereka lebih condong untuk mendukung pemerintahan Bashar Al Assad.

Penggunaan senjata kimia oleh rezim pemerintah Suriah menimbulkan invasi militer Amerika Serikat  di awal tahun 2018, walaupun pemerintahan Suriah menyangkal hal tersebut, Amerika Serikat tetap melakukan aksi invasi dengan dalih melakukan intervensi kemanusiaan dan penggunaan prinsip responsibility to protect (R2P). Mengenai Kepentingan nasional Amerika Serikat di Suriah sejalan dengan arah Politik Luar Negeri Amerika Serikat, kepentingan politi, Ekonomi, satbilitas keamanan di wilayah Timur Tengah serta alasan HAM, menjadi penentu dalam penerapan invasi militer Amerika Serikat di Suriah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Bedjaoui, Mohammed, (2000), The Fundamentals of Preventive Diplomacy, New York: Routledge and The Center International Health and Cooperation, pp. 85-86.

Boyd, J.N. Rosenau, K.W. Thompson, (1976), World Politics: An Introduction, The Free Press, New York, p. 15.

Landis, (2015), ‘The Syrian Uprising of 2011: Why The Assad Regime is Likely to Survive to 2013, ’Middle East Policy : Spring, p. 79.

Jentleson, Bruce, (2006), Coercive Diplomacy: Scope and Limits in the Contemporary World, The Stanley Foundation, p. 55.

Griffiths & T.O’Callaghan, (2002), International Relations: The Key Concepts, Routledge, London, pp. 132-133.

Kennedy, (1989), The Rise and Fall of the Great Powers, Vintage, New York, p. 358.

Jatmika, (2014), Pengantar Studi Kawasan Timur Tengah, Maharsa, Yogyakarta, p. 36.

S.G. Brooks & W.C, (2005), Wohlforth, Amerika dan Dunia, Memperdebatkan Bentuk Baru dalam Politik Internasional, Freedom Instutite dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, p. 267.

Bender, 2006), A Nation Among Nations: America’s Place in World History, Macmillan, p. 61.

Jurnal :

Ikhsan & I. Tjarsono, ’Kepentingan Arab Saudi Menekan Syria Melalui Politik Luar Negerinya Terkait Krisis Syria (2011-2014), ’Jurnal Transnasional, vol. 7, no. 1, Juli 2015, pp. 1867-1869.

Morris, ‘The Arab Spring: The Rise of Human Security and The Fall of Dictatorship, ’Journal of Jriminology, vol. 7, no. 3, 2012. p. 1.

Daniah, ’Pemetaan Konflik Internal dan Demokrasi Di Suriah, ’Journal International Relations, vol. 4, no. 2, April 2016, pp. 5-6.

Nakamura, Saudi Arabian Diplomacy During the Syrian Humanitarian Crissis: Domestic Pressure, Multilateralism, and Regional Rivalry for an Islamic State, ’Journal Middle East Tumnoil and Japanese Respon, vol. 5, no 13, July 2013, p. 2. 

Internet :

B.W. Adi, ‘Peningkatan keterlibatan Amerika Serikat Di Era Kepemimpinan Obama Dalam Konflik Suriah 2011-2016,’umy.ac.id (daring), 2018, <http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/19398/11.%20Naskah%20Publikasi.pdf?sequence=11&isAllowed=y>, diakses  pada 5 Juni 2018.

Fuadi, ’Al-Muhaisini Beberkan Motif Amerika Ingin Serang Suriah,’ Kiblatnet (daring), 12 April 2018,<https://www.kiblat.net/2018/04/12/al-muhaisini-beberkan-motif-amerika-ingin-serang-suriah/>, diakses pada 18 Mei 2018.

Indonesian Center of Middle East Studies, Peran China dalam perang Suriah, Scmp (daring), 7 April 2017,<http://www.scmp.com/news/china/diplomacydefence/article/2085779/backgrounder-chinas-role-syrias-endless-civil-war>, diakses pada 23 Mei 2018.

J.D. Michaels, ‘Trump And The “Deep State, ’foreignaffairs.com (daring), October 2017, <https://www.foreignaffairs.com/articles/2017-08-15/trump-and-deep-state>, diakses pada 5 Juni 2018.

P.S. Saju, ’Enam Tahun Perang Suriah, dari Aksi Damai Hingga Tembakan 60 Rudal AS,’ Kompas (daring), 7 April 2017, <https://internasional.kompas.com/read/2017/04/07/19251371/enam.tahun.perang.suriah.dari.aksi.damai.hingga.tembakan.60.rudal.as.>, diakses pada 20 Mei 2018.

The Global Coalition To Defeat ISIS, ’U.S. Departement Of State (daring), 10 September 2014, <https://www.state.gov/s/seci/>, diakses pada 5 Juni 2018.

[1]   F. Ikhsan & I. Tjarsono, ’Kepentingan Arab Saudi Menekan Syria Melalui Politik Luar Negerinya Terkait Krisis Syria (2011-2014), ’Jurnal Transnasional, vol. 7, no. 1, Juli 2015, pp. 1867-1869.

[2]  K. Morris, ‘The Arab Spring: The Rise of Human Security and The Fall of Dictatorship, ’Journal of Jriminology, vol. 7, no. 3, 2012. p. 1.

[3]  J. Landis, ‘The Syrian Uprising of 2011: Why The Assad Regime is Likely to Survive to 2013, ’Middle East Policy : Spring, p. 79.

[4] S. Nakamura, Saudi Arabian Diplomacy During the Syrian Humanitarian Crissis: Domestic Pressure, Multilateralism, and Regional Rivalry for an Islamic State, ’Journal Middle East Tumnoil and Japanese Respon, vol. 5, no 13, July 2013, p. 2.

[5]   I. Fuadi, ’Al-Muhaisini Beberkan Motif Amerika Ingin Serang Suriah,’ Kiblatnet (daring), 12 April 2018,<https://www.kiblat.net/2018/04/12/al-muhaisini-beberkan-motif-amerika-ingin-serang-suriah/>, diakses pada 18 Mei 2018.

[6]  J. Bruce, Coercive Diplomacy: Scope and Limits in the Contemporary World, The Stanley Foundation, New York, 2006, p. 55.

[7]  G. Boyd, J.N. Rosenau, K.W. Thompson, World Politics: An Introduction, The Free Press, New York , 1976, p. 15.

[8]   B. Mohamme, The Fundamentals of Preventive Diplomacy, Routledge and The Center International Health and Cooperation, New York, 2000, pp. 85-86.

[9]   B.W. Adi, ‘Peningkatan keterlibatan Amerika Serikat Di Era Kepemimpinan Obama Dalam Konflik Suriah 2011-2016,’umy.ac.id (daring), 2018, <http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/19398/11.%20Naskah%20Publikasi.pdf?sequence=11&isAllowed=y>, diakses  pada 5 Juni 2018.

[10]   M. Griffiths & T. O’Callaghan, International Relations: The Key Concepts, Routledge, London, 2002, pp. 132-133.

[11]  S.G. Brooks & W.C. Wohlforth, Amerika dan Dunia, Memperdebatkan Bentuk Baru dalam Politik Internasional, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, p. 267.

[12] J.D. Michaels, ‘Trump And The “Deep State”,’ foreignaffairs.com (daring), October 2017, <https://www.foreignaffairs.com/articles/2017-08-15/trump-and-deep-state>, diakses pada 5 Juni 2018.

[13]   P. Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers, Vintage, New York, 1989. p. 358.

[14] The Global Coalition To Defeat ISIS, ’U.S. Departement Of State (daring), 10 September 2014, <https://www.state.gov/s/seci/>, diakses pada 5 Juni 2018.

[15]   T. Bender, A Nation Among Nations: America’s Place in World History, Macmillan. 2006. p. 61.

[16]  P.S. Saju, ’Enam Tahun Perang Suriah, dari Aksi Damai Hingga Tembakan 60 Rudal AS,’ Kompas (daring), 7 April 2017, <https://internasional.kompas.com/read/2017/04/07/19251371/enam.tahun.perang.suriah.dari.aksi.damai.hingga.tembakan.60.rudal.as.>, diakses pada 20 Mei 2018.

[17]    R. Daniah, ’Pemetaan Konflik Internal dan Demokrasi Di Suriah, ’Journal International Relatios, vol. 4, no. 2, April 2016, pp. 5-6.

[18]   S. Jatmika, Pengantar Studi Kawasan Timur Tengah, Maharsa, Yogyakarta, 2014, p. 36.

[19]  Indonesian Center of Middle East Studies, Peran China dalam perang Suriah, Scmp (daring), 7 April 2017,<http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2085779/backgrounder-chinas-role-syrias-endless-civil-war>, diakses pada 23 Mei 2018.

 

Design a site like this with WordPress.com
Get started
search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close